Kamis, 04 Februari 2010

Short Story

Pedang Bambu

Seorang penjaga yang masih muda sedang memperhatikan suatu keluarga sejak pertama kali muncul di lapangan melewati gerbang luar benteng. Keluarga itu terdiri dari seorang samurai, istrinya, dan dua orang anak kecil yang sedang mengenggam tangan ibunya. Mereka memakai pakaian yang sangat sederhana.
Saat mereka nampak lebih mendekati gerbang, penjaga itu melihat bahwa kesan pertamanya terhadap keluarga itu tentang kemiskinan ternyata benar. Walaupun sedikit berkurang dengan kecantikan istrinya, sama halnya dengan anggapan mengenai pakaian mereka. Hanya sedikit wanita dikota itu yang dapat menandingi paras wajahnya. Dia berdiri mengamati mereka dengan sangat serius, sampai dia sadar bahwa ternyata mereka sedang berjalan lurus ke arah gerbang.
“Kemanakah kalian akan pergi?” dia bertanya seakan-akan ingin mencampuri urusan orang lain. Nada bicaranya kasar, tapi dia menggunakan sapaan yang sopan karena walaupun keluarga tersebut nampak sangat miskin, laki-laki itu memiliki dua pedang yang menandakan statusnya sebagai seorang samurai.
Sabuah suangai mengalir melewati gerbang utama dari Benteng Unasaka, menimbulkan kesan sebagai parit berukuran 60 kaki. Saat benteng itu dibangun sungai itu di perdalam dan kedua tepihnya di perkuat dengan dinding batu. Sebuah jembatan kayu yang melewati parit tersebut menyediakan layanan dari kota ke benteng tersebut. Di bagian parit yang berbatasan dengan kota terdapat pintu gerbang kayu yang dibuat oleh beberapa orang penjaga, sementara gerbang utama di sisi lainnya mengesankan bangunan yang memiliki dua cerita, dengan pintu yang sangat besar, dan atap yang terbuat dari ubin yang sangat tebal.
Disamping gerbang utama, ada delapan pintu masuk lainnya kedalam bailey bagian luar dari benteng tersebut, yang didalamnya terdap bailey bagian dalam. Di bagian dalamnya adalah donjoan tengah yang mendominasi langit-langit. Benteng tersebut memiliki gudang persenjataan, tempat penyimpanan peluru, gudang makanan saat terjadi pengepungan, kandang, dan kantor-kantor administrasi daerah kekuasaan. Di bailey bagian luar juga terdapat sejumlah rumah milik pelayan senior, yang merupakan garis pertahanan yang lebih untuk donjon.
Kenyataan yang terjadi adalah bahwa orang-orang yang tinggal dalam benteng tersebut berarti mereka setara dengan saudagar, petani, orang-orang lainnya yang bekerja di kantor daerah kekuasaan-diizinkan untuk masuk, dan kewajiban para penjaga di gerbang luar untuk mengawasi kedatangan dan kepergian orang-orang ini. Gerbang terbuka dari jam 5 pagi sampai jam 5 sore, tapi sejak periode ini petani harus mendapat izin setiap kali mereka masuk, sementara yang lainnya harus memiliki izin lewat yang dikeluarkan oleh kantor administrasi yang mereka ingin kunjungi. Dengan tujuan agar penjaga dapat mengkonfirmasi bahwa izin tersebut asli, keduabelas gerbang benteng tersebut memiliki buku besar beserta dengan contoh-sontoh berbagai cap otoritas.
Perasaan curiga para penjaga muda bukan hanya akibat aturan belaka, tapi juga merupakan karena keluarga itu nampak sangat miskin .
Laki-laki itu kelihatannya berumur sekitar 35 tahun. Dia menggunakan kimono samurai berwarna hitam mengemban tanda keluarganya dan memiliki dua pedang yang ditusukan melalui ikat pinggang yang digunakannya. Dia memakai sendal jerami yang berdebu, sementara topi jeraminya yang sudah tua dan berlubang dia pegang di salah satu tangannya. Istri dan anaknya juga nampak sedang berada di jalan bersamanya dan baru sampai di benteng itu setelah melakukan perjalanan jauh. Ini tidak biasanya, tatapi saat memperhatikan pakaian yang mereka gunakan akan nampak kelihatan bahwa pakaian tersebut memiliki sejumlah tambalan. Kimono laki-laki itu mungkin sudah terlalu sering dicuci sehingga tanda keluarganya sudah pudar dan hampir tidak bisa dibedakan.
Selanjutnya, keempat anggota keluarga itu nampak kehausan. Kondisi laki-laki itu adalah yang paling buruk diantara mereka semua, dan pipinya yang cekung di tutup dengan janggut yang tidak terawat, membuatnya nampak jelek. Sulit dibayangkan ada urusan apa dia di benteng itu.
“Nama saya Oguro Tanjuro” kata laki-laki itu, mendekati penjaga di gerbang. Suaranya kedengaran tidak riang. “saya pernah menjadi pembantu Lord Matsudaira di Echizen. Saya tidak yakin kamu dapat membantu saya.”
“Apa yang kau inginkan?”
“Saya mencari seorang laki-laki yang bernama Tsuge Hachirozaemon. Saya yakin dia bekerja di sini.”
“Tsuge?” penjaga muda itu menatap langit beberapa saat, kemudian teringat. “Yah, dia tinggal disini.”
“Dia bilang dia tinggal disini,” ulang Tanjuro kepada kekeluarganya. Mereka Nampak khawatir, tapi tidak lagi saat mereka mendengar hal ini. Mereka nampak sangat gembira, dan anak-anak itu melompat-lompat, selalu menggenggam tangan ibunya.
“Tsuge Hachirozaemon adalah bendaharawan daerah kekuasaan.”
“Apa kalian dengar itu? Dia adalah bendaharawan,” ulang Tanjuro, dan keluarga mudahnya meloncat dengan riang.
“Bisakah kau berbaik hati menunjukan kepada kami dimana rumahnya?” tanya Tanjuro kepada penjaga.
“Dia tinggal disebelah sana, di bailey bagian luar.” Penjaga itu masih menghormati Tanjuro dan keluarganya dengan ragu-ragu. “Tapi ada urusan apa kau dengannya? Apakah kalian saling mengenal?”
“Tidak, saya tidak pernah memiliki kehormatan untuk bertemu dengannya. Akantetapi………….” Tanjuro dengan segera menyentuh bagian dalam kimononya dan mengeluarkan 4-5 surat yang diikat dengan tali. Dia menjilat jarinya dan memisah-misahkan surat tersebut, memilih satu yang bertuliskan “Tsuge Hachirozaemon” ditulis dalam huruf tebaal berwarna hitam. Dia memisahkan surat tersebur dan memberikannya kepada penjaga untuk dibaca.
“Seperti yang kau lihat, itu adalah surat rekomendasi.”
Penjaga itu membaca isi surat tersebut dengan cepat.
“Jadi kau mencari pekerjaan?”
“Yah, begitu lah”
Penjaga sekali lagi mengamati Tanjuro dan keluarganya. Saat dia memikirkan hal itu, dia teringat bahwa daerah kekuasaan telah menyewa samurai selama sekitar satu bulan, dan sudah ada banyak laki-laki yang kondisinya sama dengan Tanjuro datang dan pergi. Dia tidak tau darimana mereka mengetahui tentang lowongan tersebut, tapi mereka semua membawa surat rekomendasi yang sama dan nekad mencari pekerjaan. Akan tetapi karena Bulan Juli yang panas, sehingga posisi itu sudah lama terisi. Melihat harapan yang sangat besar di wajah-wajah sekelompok orang yang sangat menyedihkan sebelum dia, penjaga itu tidak ingin mengecewakan mereka.
“Saya sudah lama tidak bekerja. Kami sedang tinggal bersama kenalan, saat kami mendengar berita tentang lowongan kerja di sini. Beruntungnya kenalan kami itu berteman baik dengan Tsuge Hachirozaemon, jadi kami didesak kesini secepat mungkin. Dan kami merasa sangat legah saat mengetahui bahwa Tsuge adalah seorang bendaharawan. Walaupun teman kami tidak mengetahui hal itu.”
“Kalian boleh masuk” kata sang penjaga. Saat melihat Tanjuro memasukan surat rekomendasi itu kedalam kimononya, penjaga itu menambahkan, “Sebaiknya kamu tetap memegang surat itu untuk diperlihatkan kepada penjaga di gerbang utama.”
“Ada apa ini, Hashimoto?” Tanya atasan sang penjaga, tidak dapat menyembunyikan pkegembiraan yang terpancar diwajahnya saat meninggalkan ruangan penjaga. “Goblok, apa dia tidak tahu bahwa tidak ada lagi penerimaan? Saya dengar mereka telah manemukan lima orang tambahan.”
“Itulah yang saya pikirkan, tapi saya tidak sampai hati untuk mengatakannya”.
“Tidak apa-apa. Mereka juga akan segera kembali setelah mendatangi rumah Tsuge.”

Ternyata hal itu benar-benar terjadi bendaharawan, Tsuge Hachirozaemon sangat sibuk di kantornya hari itu, jadi Tanjuro tidak jadi menemuinya. Saat sampai di rumah Tsuge keluarga itu ditemui oleh seorang lelaki muda yang nampak tidak percaya saat melihat pakaian mereka yang sudah sobek-sobek dan sedikit memperhatikan salam formal dari Tanjuro sebelum kembali masuk kedalam rumah. Dia digantikan oleh seorang wanita yang sopan, agak gemuk, dan kira-kira berumur 45 tahun, nampaknya adalah istri sang bendaharawan.
Di wajahnya tergambar kebingungan saat pertama kali melihat mereka, tapi dia tersenyum ramah. Dia mendengarkan Tanjuro memperkenalkan diri dan membaca surat rekomendasi yang dia berikan.
“Saya mengerti,” katanya, “tapi saya takut harus mengecewakan anda”
“Oh?”
“Sayang sekali, suami saya sangat sibuk saat ini dan tidak akan pulang dalam empat sampai lima hari ini.”
“Empat sampai lima hari?” Tanjuro mengulanginya dan menghela nafas panjang. Wajahnya memucat, dan sesaat dia merasa akan pingsan dan menagis, tapi cepat-cepat dia kembali mengontrol dirinya.
Wanita itu menyadari bahwa keluarga itu telah menggantungkan semua harapan mereka kepada suaminya, dan pakaian yang mereka gunakan sudah kusam membuatnya merasa kasihan. Dia tidak pernah mendengar tentang Katayang Zusha, laki-laki yang ada di Aizu yang telah merekomendasikan Tanjuro kepada suaminya, dan dia tidak tahu apakah masi ada lowongan kerja yang tersedia, tapi dia merasa kasihan, merasa bangga terhadap ketabahan mereka hidup dalam kemiskinan. Isi surat itu menyatakan bahwa Tanjuro pernah dipekerjakan oleh daimyo Inuyama, Lord Hiraiwa sampai dia meninggal dunia tampa meninggalkan warisan, yang menghasilkan tidak ditandainya sebagai warga. Kemudian Tanjuro dipekerjakan oleh marga Matsudaira di daerah Echizen. Akan tetapi hal tersebut bukan merupakan latar belakang laki-laki itu melainkan tatapan istrinya dan anaknya yang disentuh oleh istri bendaharawan. Badan istri Tanjuro langsing dan nampaknya berusia tidak lebih dari dua puluh tahun. Dia nampak mirip dengan anaknya sendiri, sedangkan anak-anak perempuannya berusia enam dan tiga tahun, berdiri dengan pandangan matanya yang nampak cerdas. Mereka menggunakan pakaian kumuh, tapi mereka masih tetap menjaga kebanggannya sama seperti staus samurai mereka.
“Suamiku sedang pergi ke Konuma tapi pasti akan kembali dalam empat sampai lima hari. Maukah kau menunggunya sampai ia kembali?”
Kota Konuma terletak di seberang lautan berjarak sekitar 20 mil dari Unasaka, tempat diamana Benteng Kaionji berada, salah satu benteng cabang magra dibawah pembiayaan dari seorang pramugara.
“Yah, kami bisa menunggunya. Saya akan datang lagi setelah dia kembali.”
“Apa kalian tahu akan pergi kemana?”
“Tidak, kami belum punya rencana. Kami akan mencari penginapan yang cocok.”
“Kenapa kalian tidak tinggal disini saja? Kalu kalian tidak punya tujuan. Saya senang membantu kalian.”
“Tidak, kami tidak bisa membebani anda seperti itu,” kata Tanjuro sambil menggelengkan kepalanya. “Kami datang untuk meminta kemurahan hati kalian, dan kami tidak bisa mengambil keuntungan dari keramahan anda.”
“Kalian harus berjanji akan datang lagi setelah suami saya kembali. Saya akan menyampaikan kepentingan kalian kepadanya.”
“Kami pasti akan datang,” Tanjuro agak menunduk, istri dan anaknya juga melakukan hal yang sama. Sebelum dia pergi, dia berkata dengan kaku “Bisakah saya mengganggu anda untuk mengembalikan surat rekomendasi saya?”
“Ini milik mu,” jawab sang istri bendaharawan sambil mengulurkan surat yang sebelumnya diletakkan di lututnya. Dia memandang Tanjuro dengan pandangan aneh. “Tapi apakah kamu yakin akan memberikan surat itu kepada suami saya? ”
“Yah benar,” jawab Tanjuro, sambil memegang kepalanya sebagai gerakan yang menandaakan bahwa dia merasa malu. “Tapi surat itu sangat penting bagi saya.”
Wanita itu mengerti betapa pentingnya surat itu bagi mereka berempat, tapi dia tetap raamah kepada mereka. “Tunggu sebentar,” kata perempuan itu saat keluarga Tanjuro akan pergi. “Jika kalian tidak menemukan penginapan, cobalah ke Toliwaya di Yayoi. Suami saya sering kesana jadi saya yakin kalian akan dilayani dengan baik disana.”
“Anda begitu baik.”
“Oh, saya hampir lupa satu hal yang sangat penting.”
Memberi isyarat agar mereka kembali kedalam pintu masuk aula, dia pergi ke bagian belakang rumah, dan kembali dengan membawa pakaian yang terbungkus serta selembar surat.
“Tolong jangan menganggap saya sombong, tapi saya sudah membungkus beberapa pakaian bekas dan menulis surat untuk kalian perlihatkan kepada penjaga di gerbang saat kalian datang kembali. ” dia telah menduga bahwa Tanjuro menghadapi kesulitan saat memasuki benteng, jadi dia telah menulis beberapa baris surat yang ditambahkan dengan cap rumahnya di bagian bawah yang bisa memudahkan perjalannya.
Sekali lagi Tanjuro berterimah kasih sebelum akhirnya mereka pergi, berjalan melewati pintu utama benteng dan jembatan tanpa berkata apa-apa. Saat mereka sampai di lapangan sebelah dalam gerbang luar, Tanjuro melihat kebelakang dan melihat penjaga disana, memegang perisai, dan memperhatikan mereka dengan penuh rasa curiga.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanya Tanjuro kepada istrinya. Sementara anaknya menatapnya denagan pandangan yang tak biasanya. “Saya pikir saat kita menyampaikan maksud kita kepada Tsuge, semua masalah akan berakhir. Saya tidak memikirkan kalau Tsuge sedang tidak berada di rumah.”
“Paling tidak kita sudah tahu keberadaan dan kedudukannya sebagai seorang bendaharawan. Jadi kekhawatiran kita sudah berakhir,” jawab istrinya dengan berbesar hati, sambil membawa bungkusan yang diberikan oleh istri Tsuge kepadanya. “Kita hanya harus menunggu empat sampai lima hari.”
“Tapi apa yang akan kita lakukan sekarang?”Tanya Tanjuro dengan nada khawatir.
Sadar akan kesulitan yang mereka hadapi, istri Tanjuro merendahkan matanya. Mereka tiba di Unasaka pada malam sebelumnya dan menghabiskan uang mereka untuk membayar penginapan di daerah Eguchi. Sehari sebelumnya dia juga telah menukarkan barang berharganya yang terakhir yaitu hiasan rambut dengan beberapa butir nasi untuk makan siang mereka.
“Apa masih ada beras yang tersisa?” Tanya Tanjuro. Seandainya mereka masih memiliki persediaan makanan mereka bisa tidur di bagian atas kuil malam itu.
Ini adalah kedua kalinya Tanjuro menjadi seorang ronin, panggilan untuk seorang samurai yang tidak memiliki majikan. Pertama adalah ketika Hiraiwa Shinkichi, seorang damiyo yang sudah dikawalnya sejak zaman ayahnya, meninggal di malam tahun baru 1611 tanpa seorang pengganti dan marganya tidak dikenal lagi. Ironisnya, damiyo itu tidak memiliki anak laki-laki, tapi ayah mertuanya telah bertempur diarah yang salah pada Perang Sekigahara pada tahun 1600, dimana Tokugawa mengawasi semua negara, Hiraiwa waspada akan munculnya permusuhan dengan pemerintahan baru dan tidak mendaftarkannya sebagai ahli waris. Sebagai hadia terhadap kesetiaannya, sang shogun memberikan anak ketujuhnya sendiri, Matsuchiyo, kepada Hiraiwa sebagai seorang ahli waris, tapi anak itu meninggal saat dia berusia enam tahun dan setelah itu tidak ada lagi ahliwaris yang dipilih.
Tanjuro berusia 20 tahun saat Hiraiwa meninggal dunia dan menjadi seorang ronin. Ayahnya sudah meninggal dunia saat itu, dan dia harus menghidupi ibu dan seorang gadis yang berusia 10 tahun. Gadis itu, tami, yang sekarang menjadi istrinya, sudah menjadi anak yatim piatu sejak berusia 4 tahun. Ayahnya juga adalah pensiunan dari keluarga Hiraiwa, ketika dia dan istrinya meninggal secara beruntutan, keluarga Tanjuro mengambil dan menganggap gadis itu sebagai keluarga sendiri.
Setelah menghabiskan waktu selama tiga tahun untuk mencari pekarjaan, Tanjuro beruntung mendapat tawaran pekerjaan dari Yoshida Yoshihiro, seorang pedagang yang cukup kuat dari keluarga Matsudaira di daerah Echizen, setelah direkomendasikan oleh seorang mantan pedagang Hiraiwa. Keberuntungan berada di pihaknya saat Yoshidas mencari laki-laki untuk pengepungan musim gugur Benteng Osaka, rumah marga Toyotomi, pembalasan dendam Shogun Tokugawa dan tantangan yang paling serius terhadap otoritasnya.
Pendiri marga Matsudaira telah pindah dari daerah Shimosa ke Echizen pada tahun 1601, dan memerima pendapatan dari kedua tempat itu sebesar 500.000 gantang beras dari Shimosa dan 2.800.000 gantang dari Echizen. Saat dia mengambil bagian terakhir, dia membagi-bagi lahan tersebut kepada pelayannya, dan karyawan Tanjuro, Yoshoda Yoshihiro diberikan lahan berpenghasilan 70.000 gantang pertahun, yang tidak hanya membuatnya menjadi pedagang yang kaya tapi juga menjadikannya minor lord.
Akan tetapi, pada musim panas tahun 1615, selama penyerangan Benteng Osaka yang kedua dan terakhir, Yoshida bunuh diri sesaat sebelum penyerangan terakhir. Dia telah mendesak raja untuk memecah pasukan dan melakukan penyerangan keesokan paginya, sebelum tentara bersistirahat, sehingga kemenangan yang mereka peroleh akan semakin besar. Yoshida sangat bertanggungjawab atas kelicikan-kelicikan militer yang melanggar hukum yang telah mereka lakukan serta ritual bunuh diri yang dilakukan untuk menebus kematian. Melihat alasan-alasan itu, Tanjuro kemudian ditawari pekerjaan yang baru dari pedagang besar, Nagami Uemonnosuke.
Uemonnosuke baru berusia 9 tahun saat Tanjuro mulai mengawalnya, tapi dengan sebidang tanah sewaan senilai 77.000 gantang beras, anak itu memiliki kedudukan yang hamper sama dengan pimpinan dewan di daerah itu. Kedua kakeknya meliliki hubungan kekerabatan dengan shogun, Tokugaya Ieyasu, dan ketika ayah anak itu memilih untuk mengikuti raja menuju kemetian saat berusia 24 tahun, pelayannya telah bersatu untuk melindungi keluarga Nagami.
Setelah dua tahun bekerja di keluarga Nagami, Tanjuro menikahi Tami yang saat itu berusia 16 tahun. Tiga tahun kemudian ibunya meninggal dunia karena sakit yang sudah lama dideritanya. Tahun berikutnya mereka dianugrahkan seorang anak perempuan, Tanjuro merasa bahwa sisa hidupnya di Echizen akan bahagia. Pendapatannya hanya 150 gantang beras tiap tahun, tidak sebanding dengan pendapatannya sebesar 900 gantang beras/tahun saat ia masih bekerja di keluarga Hiraiwa, tapi dia dan Tami mersa puas, dia tidak ingin menjdi seorang ronin lagi.
Hal ini bukan berarti bahwa mereka tidak pernah mendengar rumor tentang tingkalaku sang raja, Matsudaira Tandanao, tapi mereka tidak pernah membayangkan bahwa hal itu akan mempengaruhi mereka.
Matsudara Tandanao sangat dipuji oleh shogun pertama, Tokugaya Ieyasu, karena keberaniannya dalam dua kali penyerangan Benteng Osaka. Akan tetapi, dua tahun setelah penyerangan kedua, istrinya Ocha, anak ketiga dari Shogun Kedua, Hidetada- meninggalkan benteng di Fukui dan kembali ke orang tuanya di Edo, bersama anak laki-lakinya. Mulai saat itu, kelakuan Tadanao mulai diperbincangkan. Tadanao dan Ocha adalah cucu dari shogun pertama, dan mereka menikah saat Ocha berusia 11 tahun. Anak laki-laki mereka lahir saat dia berusia 15 tahun, tapi sejak saat itu, Ocha melarikan diri ke Edo yang mengakibatkan hubungan pernikahan mereka gagal, dan menurut desad-desus, Tadanao ingin membunuh istri beserta anaknya. Setelah Ocha pergi, Tadanao mendapat kepercayaan yang lebih besar dari salah satu anggota istana, Oyamada Tamon, penjilat terbesar di daerah itu. Dia menikahi seoarang wanita bernama Ikkoku Gozen, yang berarti “Ratu di Daerah itu”, untuk dijadikan sebagai istri. Keduanya tidak pernah berpisah, dan kebejatan-kebejatan yang mereka lakukan menyebebkan mereka dianggap sebagai orang yang haus darah.
“Sang Ratu” merasa bahagia saat melihat orang-orang yang terbunuh, sehingga Tadanao meminta agar orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang akan dihukum dibawah ke kebun yang dapat terlihat dari kamar sang ratu, agar dia bisa menyaksikan saat kepala mereka dipenggal. Ketika orang yang akan dihukum hanya sedikit, Tadanao menghukum anak-anak yang belum dewasa untuk kesenangannya. Dia memiliki bola raksasa tempat pembakaran moxa, yang dilitakkan di perut anak-anak itu, dan dia hanya duduk menyaksikannya beteriak karena meresa kesakitan, dan yang lainnya dia bunuh dengan mendorongnya dari atas menera benteng.
Belum lama ini, Oyamada Tamon membuat hiburan yang special di rumahnya. Dia ingin melakukan sesuatu yang lebih baik dengan istrinya, dia mendekorasi halamannya dengan menempatkan kepala manusia di tempat-tempat strategis agar mereka bisa melihatnya dari dalam rumah, untuk memenuhi kesenangan keduanya. Selanjutnya Oyamada memukuli soerang wanita hamil dengan martil besar sampai dia keguguran.
Pada tahun 1622, enam tahun setelah Tanjuro menduduki jabatannya, Tadanao yang sama meminta agar Nagami Uemonnosuki menjadikan ibunya sebagai seorang gundik. Ibu Uemonnosuke sudah menjanda sejak suaminya meninggal dunia dengan cara bunuh diri sama seperti yang raja lakukan, tetapi dia terkenal cantik dan, hanya mempunyai satu anak, kelihatan lebih muda dari umurnya yang sudah mencapai tiga puluh tahun. Peristiwa inilah yang menyebabkan kehancuran impian Tanjuro.
Uemonnosuke yang saat itu berumur 17 tahun, menolak dan memerintahkan pengawalnya untuk membuat persiapan untuk menjaga rumahnya. Sementara itu, ibunya memotong rambutnya dan masuk biara untuk menjadi seorang suster. Ketika Uemonnosuke memergoki Tadanao memanjat naik ke lantai dua bangunan pemiaraan burung elang, dia menembaknya dengan dengan senapan kaliber besar yang kuno tetapi dia berhasil melarikan diri. Kejadiann itu tidak berlajut sampai liburan tahun baru, ketika Uemonnosuke mengirim pengawalnya untuk mengikuti perayaan dan Tadanao menggunakan kesempatan itu untuk menyerang. Menyadari bahwa mereka tidak mungkin dapat bertahan, Uemonnosuke memutuskan untuk membakar rumahnya dan melakukan upacara bunuh diri.
Tanjuro sedang berada di tengah-tengah perkelahian, tetapi saat mendengar tuan mudanya bunuh diri, dia menerobos melewati kepulan asap dari rumah yang sedang terbakar, istri dan anak perempuannya dibawa ke jalan, suara gaduh pertempuran masih terdengar di telinganya.
Pencarian Tanjuro seorang majikan baru ternyata membutuhkan waktu yang lama. Lima tahun telah berlalu dan anak perempuan keduanya telah lahir. Dia telah terbiasa hidup di jalan dan tidak peduli jika orang-orang melihat dengan rasa curiga terhadapa penampilannya. Selama keluarganya mempunyai persediaan makanan yang cukup, ia meresa senang tidur dimana saja seperti gelandangan pada umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dia memotong kayu bakar di penginapan dimana mereka tinggal, atau jika ia bekerja sebagai buruh di jalanan yang dia lewati saat melakukan perjalanan.
Tanjuro berpikir untuk menyediakan mencari makanan bagaimanapun caranya.
"Maafkan saya," kata Tami kepada suaiminya . "Kita masih mempunyai tiga bola beras sisa makan siang, tetapi anak-anak dan saya memakannya saat kita mampir di bukit sebelum masuk ke kota."
Tanjuro berpikirbahwa anak dan istrinya harus makan, sementara ia hanya tidur. Tami dan anak-anaknya kelihatan cukup kurus, tetapi mereka mempunyai nafsu makan yang mengherankan. Bahkan anak perempuannya yang lebih muda, Ito, bisa makan sebanyak seperti kakanya, Matsue.
“Baik, itu tidak bisa diatasi. Mari kita mencari penginapan" kata Tanjuro.
“Uangnya bagaimana?
“Aku punya rencana."
Keluarga itu kelihatan sangat malang sehingga tak satupun penjaga penginapan menerima mereka. Hal ini sudah sering terjadi sebelumnya, tidak memberikan alternative untuk mereka tetapi mengharurkan mereka untuk membayar uang sewa dimuka. Saat ini mereka sama sekali tidak punya uang. Satu-satunya hal yang mereka miliki adalah surat rekomendasi untuk Tsuge Hachirozaemon, yang memberi bukti tentang identitas Tanjuro. Penjaga restoran tidak bisa menolak seseorang yang mempunyai urusan dengan pejabat kerajaan, sehingga mereka bisa mendapkan satu kamar dan mereka bisa menempatinya sampai Tanjuro mendapat tempat pekerjaan. Itulah rencana yang ada dalam pikirannya sehingga dia meminta kepada istri Tsuge untuk mengembalikan surat tersebut kepadanya.
" Aku tahu kamu memikirkan sesuatu," kata Tami. Dia sangat memahaminya. Sudah sangat sering selama bertahun-tahun dalam perjalanan, mereka hampir tidak memiliiki uang sepeserpun, tetapi tidak sekalipun Tanjuro membiarkan dia atau anak-anaknya kelaparan.
Mereka menanyakan jalan ke penginapan Tokiwaya yang telah disarankan oleh istri Tsuge, tetapi ketika akan sampai di penginapan, mereka berhenti dan berpikir.
Penginapan tersebut adalah bangunan megah dengan aula pintu masuk yang luasnya sama dengan tempat kediaman samurai kaya. Banyak orang masuk dan keluar, di antaranya adalah para pelancong, tetapi tidak satu pun dari orang tersebut kelihatan miskin. Tiba-tiba seorang pelayan wanita terburu-buru ke luar, nampan kayunya bergema pada batu hampar, untuk menerangi lentera-lentera yang tergantung di tonggak pintu pagar. Penginapan itu sangat maju. Namanya, ditulis dengan tulisan yang besar dan berwarna hitam. terlihat dengan jelas di lentera-lentera kertas di jalan yang gelap.
"Kita tidak akan melakukannya, marilah kita mencari penginapan yang lebih kecil," Tanjuro berkata. Ia melanjutkan perjalanan di tengah malam, suara langkah kaki keluarganya kedengaran dekat dibelakangnya.
"Katayanagi Zusho? Dari daerah Aizu?" Tsuge Hachirozaemon memiringkan kepalanya saat sedang berfikir, ketika istrinya membantu dia melepas pakaiannya. "sepertinya saya tidak mengenalnya,” katanya, kemudian dia duduk sementara istrinya menuang teh untuk Tsuge.
Tsuge tidak suka misteri, dan jika ada sesuatu yang tidak dia pahami, dia akan merasa sampai dia mengetahui jawabannya. Istrinya telah menceritakan kepada dia tentang kedatangan seorang laki-laki yang membawa surat rekomendasi saat dia bepergiaan, tetapi dia tidak bisa mengingat siapa penulis surat tersebut. Hal itu membuatnya merasa jengkel.
"Apakah kamu yakin belum pernah bertemu dengan dia?"
"Ya"
"Tetapi kelihatannya aneh jika seseorang datang untuk menemui kamu dengan membawa surat yang ditulis oleh orang yang tidak kamu kenal."
"Ya, tidak mungkin?" Dia sama sekali tidak mengerti. Menulis sepucuk surat seperti menyatakan secara tidak langsung bahwa Katayanangi adalah teman karibnya. Tiba-tiba kenangan masa lalu muncul dalam pikirannya. "tunggu!"
"Apakah kamu sudah mengingatnya?"
"Tunggu sebentar."
Dia berusaha untuk mengingatnya. Tetapi apakah laki-laki itu di panggil Katayanangi? Lagian dia kan ditempatkan di Edo, Dia pernah melakukan kunjungan resmi ke suku Hiraiwa, pada saat itu suku Hiraiwa menguasi provinsi Fuchu, sepertinya dia telah mengingat kalau dia pernah bertemu laki-laki itu dua kali, kira-kira lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
"Hmm, itu pasti Katayanagi," katanya, suaranya kedengarang gembira. Dia terkejut mendengar bahwa Katayanagi mengabdi kepada suku Kato di Aizu dan merekomendasikan seseorang kepadanya.
"Apakah kamu mengingatnya sekarang?"
"Aku pikir demikian, tetapi saya tidak mengenalnya dengan baik. Saya bertemu dengannya hanya dua kalibertahun-tahun yang lalu," tapi dia meresa lebih tertarik untuk menegetahui tentang laki-laki yang Katayanangi rekomendasikan.
"Siapa lagi nama laki-laki itu?"
"Oguro Tanjuro"
"Bagaimana cirri-cirinya?"
Istrinya menundukan mukanya untuk menyembunyikan senyuman ketika dia mengingat keterkejutannya melihat keluarga yang malang tersebut di aula pintu masuk,
" Apa yang salah?"
"Tidak ada,"dia berkata, matanya bergerak menunjukan keriangannya. "Pakaiannya yang mengerikan."
"Bukan itu yang saya maksud." Tsuge memarahi istrinya, "Saya ingin tahu, seperti apa dia"
"Dia berumur tiga puluh lima atau tiga puluh enam tahun, sangat kurus dan kelihatannya sangat serius."
"Kedengaranya biasa saja,"
" Istrinya sangat cantik."
"Apakah dia memiliki seorang istri."
"Ya, Dan dua anak." Dia tersenyum sekali lagi saat mengingat anaknya yang memiliki mata yang indah.
"Aneh, "Tsuge, menyilangkan lengannya ketika dia berpikir. Ia tidak mengerti mengapa orang itu dan keluarganya harus mendatanginya. "Kamu bilang dia memiliki surat rekomendasi. Tetapi apa yang Katayanangi katakan di dalam surat itu?"
"Bahwa Oguro sedang mecari pekerjaan. Katayanangi meminta agar kamu memberikannya pekerjaan."
“Pekerjaan?”
“Ya. Apakah kamu mencari pengawal benteng? Katayangi menulis kalau kamu membutuhkannya”
"Omong kosong!" seru Tsuge, "Itu telah lama berakhir ."
"Oh tuhan," Istrinya berkata, kaget "maksudnya kamu tidak membutuhkan orang lagi?
"Tidak."
Keluarga Oguro kelihatannya tidak pernah menyangka akan hal ini, dia berfikir bahwa laki-laki itu seperti seorang actor yang naik ke atas panggung untung menampilkan pertunjukan saat tirai panggung telah ditutup. Hal itu menmbuatnya merasa sakit hati karena bagaimana pun dia juga terlibat dalam pertunjukan itu. Dia meresa jengkel, dan kejengkelannya mengarahkan pada Katayanagi, laki-laki yang hampir tidak dia kenal, menempatkan dia dalam keadaan sulit.
"Benar-benar tidak bertanggung jawab."
"Tetapi Oguro akan datang menemui kamu besok," kata istrinya. "Setidaknya temui dia dan dengar apa yang akan dia katakan."
"Saya tidak pernah berkata tidak akan menemuinya."
Keesokan harinya, Tsuge kembali ke benteng untuk menemui Ogure Tanjuro yang sudah menunggunya. Tanjuro tidak bisa menahan senyum ketika dia menyalami bendaharawan itu.
"Saya adalah Oguro Tanjuro, Istrimu mungkin telah menceritakan tentang aku," setelah berkata itu, dia memasukan tangannya ke dalam kimononya dan menarik surat tersebut, dia mengulurkannya ke pada Tsuge. "Aku mempunyai sepucuk surat dari Katayanangi Zusho yang merekomendasikan saya kepada anda,"
Sebelum membaca surat tersebut, Tsuge mengamati lelaki yang berada di depannya. Hidung dan dahinya hitam karena terkena sinar matahari, tetapi pipi dan dagunya begitu pucat sehingga jelas dia baru saja mencukur jenggotnya. Pipinya yang cekung dan belang-belang karena terkena sinar matahari, membuat laki-laki itu nampak seolah-olah memakai pelindung muka yang dipakai oleh sebagian orang dalam pertempuran. Seperti yang telah dikatakan istri Tsuge, pakaiannya penuh dengan tambalan, tetapi bersih.
Dia membaca surat rekomendasi tersebut.
Aku tahu bahwa sukumu saat ini sedang mencari orang baru, dan karena itu, saya ingin memperkenalkan seorang teman lama. Dia adalah seorang laki-laki yang mempunyai karakter yang baik dalam segala hal, dan saya berharap anda akan mempertimbangkan surat ini dengan baik………………….
Surat itu selanjutnya berisi tantang ringkasan karir Oguro, menguraikan bagaimana dia mendapatka pekerjaan di suku Matsudaira, setelah pemutusan suku Hiraiwa.
Dia merasa gelisa, Tsuge berpikir ketika kemarahannya kepada Katayanagi memuncak dan meluap saat menghadapi laki-laki lusuh, dengan wajahnya yang berwarna dua, berdiri di sebelahnya. Tapi sebaliknya saat melihat kejujuran ekspresi laki-laki itu yang menggambarkan harapan akan kebahagiaan.
"Saya tidak ingin mengecewakanmu," kata Tsuge, “Akan tetapi saya benar-benar tidak mengenal Katayanagi Zusho, kami tidak begitu akrab untuk mengirimkan surat rekomendasi seperti ini kepada saya."
Tanjuro memperhatikan Tsuge tanpa berkata apa-apa dan di wajahnya nampak ekspresi kebingungan.
“Saya bertemu dengannya karena urusan kantor, satu atau dua kali lebih dari dua puluh tahun yang lalu ketika saya ditugaskan di Edo. Hubungan kami hanya sebatas itu saja.”
Tanjuro nampak bingung.
“Apa kamu sudah mengerti sekarang? Saya berbicara dengannya dua sampai tiga kali karena urusan kantor, hanya itu. Kami bukan sahabat atau teman dekat. Buktinya butuh waktu yang lama bagi saya untuk bisa mengingat namanya tadi malam.”
“Bagaimana mungkin!” seru Tanjuro, matanya membelalak karena tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Selanjutnya, tentang pencariaan penjaga seperti apa yang di sebutka disini,” lanjut Tsuge sambil menunjuk surat rekomendasi itu dengan jari telunjuk sebelah kananya, “sudah penuh bulan lalu. Lowongan itu sudah penuh hampir sebulan.”
Tanjuro mengeluh dan merasa segan memandang mata Tsuge.
“Jadi semua lowongan sudah terisi dan tidak aka nada lagi penerimaan untuk sekarang ini.”
Setelah mengatakan semua itu, Tsuge merasa sangat kasihan kepada ronin dan keluarganya yang telah melewati perjalan yang sangat berat dari Aizu hanya untuk mengancurkan harapannya.
Benar-benar tidak bertanggung jawab! Tsuge berfikir dan terdiam sambil memaki Katayangi.
”Apakah kamu akrab dengannya?” Tanya Tsuge.
“Ya,” jawab Tanjuro yang masih merasa bingung. “Dia adalah teman baik ayah saya.”
“Saya mengerti.” Tiba-tiba semua itu menjadi jelas bagi Tsuge. “Dimana kamu lama tinggal bersamanya?”
Tanjuro menghitung-hitung jarinya yang nampak kurus untuk menghilangkan kecanggungannya.
“Ketika pertama kali saya menjadi seorang ronin, kami tinggal bersama Katayangi selama tiga bulan. Setelah suku Hiraiwa dikalahkan, dia beruntung segera mendapatkan pekerjaan di keluarga Kato. Kemudian, setelah saya meninggalkan suku Matsudaira, kami tinggal bersamanya selama enam bulan. Dan terakhir, kami berada disana selama sepiluh hari.”
“Apakah Katayangi yang memberitahukanmu bahwa kami sedang mencari pengawal?”
“Ya.”
Jadi itu sebabnya! Katayangi hanya ingin agar tamu yang tidak dia harapkan segera pergi. Sangat sulit baginya untuk menanggung keluarga yang terdiri dari empat orang yang ditak memiliki pekerjaan. Itulah mengapa dia mengambil keuntungan dari pertemuannya dengan Tsuge, sehingga dia mengirim mereka kepadanya.
“Apa jabatan Katayangi di suku Aizu?”
“Dia bekerja di korps konstruksi.”
“Berapa pendapatannya?”
“Empat ratus gantang beras tiap tahunnya.”
Tsuge menyadari bagaimana sulitnya katayangi membiayai anak teman lamanya itu dengan pendapannya yang sangat sedikit. Kenyataannya dia telah melakukannya selama tiga bulan, kemudian enam bulan, tapi pada akhirnya dia menyerah.
“Saya minta maaf telah membuang-buang waktu anda. Saya akan pergi sekarang,” kata Tanjuro dengan tiba-tiba dalam nada suara yang lebih formal.
“Begitulah keadaannya sekarang. Saya harap kamu tidak beranggapan buruk terhadap saya”
Walaupun dia berkata demikian, tapi perasaan Tsuge tetap berubah. Dia mengutuk Katayangi yang telah mengirimkan orang kepadanya dengan cara seperti ini, tapi mungkin Katayangi melakukannya dengan maksud yang baik. Dia mungkin mengingat Tsuge dengan baik dan merekomendasikan Tanjuro dengan harapan itu akan berguna baginya. Jika demikian, dia tidak bisa menbiarkan laki-laki itu beserta keluarganya pergi begitu saja.
“Kemana kalian akan pergi setelah ini?”
“Kami belum memikirkannya,” jawab Tanjuro
“Apakah kalian akan kembali tinggal bersama Katayangi?”
“Tidak, hal itu sangat sulit.” Ketika mereka pergi, Tanjuro ingat bahwa Katayangi memberikan uang untuk digunakan dalam perjalanan tanpa sepengatuan istrinya.
“Jangan pergi dulu,” Tsuge terkesan dengan kejujuran Tanjuro. Dia tidak tahu kemana akan pergi, tapi dia tidak membuat banyak alasan mengapa dia meminta pertolongonan, dan dia telah meminta permisi tanpa mencoba untuk memaksa tetap tinggal. Tiba-tiba Tsuge merasa bahwa malu jika ia membiarkan orang seperti Tanjuro pergi begitu saja. “Saya akan menanyakan kepada orang disekitar sini terlebih dahulu.” Kata Tsuge.
“Maaf, apa maksud anda?”
“Saya tidak ingin member harapan yang terlalu besar, tapi karena kamu sudah datang kesini berulang kali, saya akan berusaha membantumu.”
Kelegaan nampak di wajah Tanjuro. Dia agak membungkuk, menyentuhkan dahinya di lantai tatami. "Saya sangat berterima kasih."
"Bailkah, saya pikir kamu tidak terburu-buru untuk pergi ke tempat lain. Tetapi tolong mengertilah bahwa saya tidak dapat menjanjikan apapun."
“Terima kasih banyak. Meskipun anda tidak dapat menolong apapun, setidaknya kami tidak akan merasa sekhawatir sekarang. Jika apa yang akan terjadi nanti lebih buruk dariapa yang kami khawatirkan, kami akan segera pergi dan tidak menyesali apapun.”
"Apa kamu sesuatu yang lain untuk dijadikan sebagai acuan?
"Ya." Tanjuro mengambil dokumen dari dalam kimononya. Ini adalah keterangan tentang posisi dan perilaku saya saat bekerja dengan suku Hiraiwa.
Setelah membacanya, Tsuge berkata, "Saya lihat kamu mendapat gaji 900 gantang,"
"Ya. Dan ini adalah tanda jasa atas perilaku saya selama pengepungan benteng Osaka, beserta sebuah laporan kesaksian."
"8 Mei 1615. Jadi kamu bertarug di bawah menteri suku Matsudaira dari Echizen? Pastinya lebih dari satu pertempuran." Tsuge berhenti sejenak membaca laporan tersebut. "Kamu bertarung melawan musuh menggunakan tombak dan membawa satu kepala. Dia menatap tanjuro dan melihat bahwa laki-laki itu merasa bangga dengan masa lalunya.
"Hanya satu kepala……” Tsuge berbisik dan, mengabaikan laporan kesaksian tanpa membacanya, mengembalikan dokumen dengan berat hati. "Apakah kamu memiliki keahlian khusus menggunakan senjata?" Dia bertanya, dengan harapan yang tidak terlalu besar.
"Ya," Tanjuro menjawab dengan semangat, "Saya memiliki beberapa keterampilan menggunakan pedang pendek."
Memperbaiki pematang sungai Goken saat matahari terbenam, dan saat Tanjuro tiba lagi di penginapan Hatsuhana, hari sudah begitu gelap sehingga wajah orang lain tidak dapat terlihat dengan jelas. Sebelum masuk lewar pintu belakang, terlebih dahulu dia mencuci tangan dan kakinya di sumur di belakang kebun. Cahaya terpancar dari dapur ketika dia lewat, dia mendengar suara beberapa orang wanita yang kedengaran bersemangat serta suara piring yang sedang dicuci, tetapi sungguh beruntung tak seorang pun dari merekayang memperhatikannya.
Bau memasakan mengingatkan betapa laparnya dia, tapi saat dia berada di tangga menuju lantai kedua, dia bertemu dengan pemilik penginapan, Gonzo.
“Ah, tuan, ini adalah kesempatan yang baik," katanya sambil mengeluarkan dompetnya dan memberikan koin tembaga kepada Gonzo. "Ini untuk makan kami besok," katanya dengan gembira.
Pemilik penginapan menerima uang itu tanpa berkata apa-apa dan melanjut perjalanannya.
Sungguh laki-laki yang kasar, pikir Tanjuro, tetapi mempertimbangkan bahwa dia hanya membayar makanan saja tanpa harus membayar sewa kamar, dia mengeluh. Ketika dia melangkahkan kakinya yang telah letih untuk menaik tangga, Dia melihat keluar jendela dan berharap agar hari-hari berikutnya akan lebih baik. Hari itu dia dibayar sebagai seorang pekerja pada perbaikan tanggul sungai, dan selama tidak hujan dia bisa mendapatkan bayaran yang cukup untuk memberi makan keluarganya. Dia berjalan sepanjang koridor menuju kamar yang terletak di ujung, yang telah diubah menjadi gudang sampai mereka .menempatinya. Dia membuka pintu masuk ke dalam kamar.
"Selamat datang kembali," Tami berkata dari dalam ruangan yang gelap. “Anak-anak sudah tidur, jadi pelan-pelan melangkah."
Dia mendengar bunyi benturan baja dan sebuah lampu kecil mulai memancarkan cahaya yang remang-remang. Tanjuro bisa melihat anak-anaknya tertidur di dekat dinding dan meja kecil disebelah lampu yang telah terhidang makanan diatasnya. Minyak mahal, sehingga lampu hanya dinyalakan hanya beberapa saat yaitu ketika dia makan. Anak-anak mengerti hal ini, sehingga ketika senja datang mereka akan membentangkan selimut mereka yang tipis dan pergi tidur.
"Tidak ada kabar dati Tsuge?” Tanya Tanjuro kepada istrinya, dia mulai menyantap makan malamnya yang hanya seadanya yaitu gandum tang telah direbus, dicampur dengan padi-padian dengan sedikit beras, serta sepiring pakis dan asinan lobak.
"Belum," Tami kedengaran cemas . Satu bulan telah berlalu sejak mereka pertama kali datang ke penginapan ini, mereka telah mempercayai Tsuge untuk mencarikan pekerjaan untuk Tanjuro, tetapi belum ada kabar dari dia . Tanjuro menganggapsemua harapannya telah musnah, tetapi dia menahan diri, tidak ingin mesara sedih atau jengkel kepada Tsuge. Selain itu, dia harus bekerja di sungai untuk biaya makanan mereka sehari-hari. Saat kembali ke penginapan, hal yang ingin dia lakukan hanyalah makan san segera tidur.
"Er…." Tami mulai bimbang
"Ada apa?"
"Pemilik penginapan kesini lagi untuk menagih uangnya." Tanjuro berusaha menggigit lobak yang keras itu. "Dia menginginkan kita untuk membayar kamar ini."
Tanjuro tidak menjawab.
"Dia bilang kita tidak bisa tinggal disini lagi."
"Jangan pedulikan." Tanjuro menjawab setelah mengigit sepotong lobak itu .
Saat mereka pertama kali tiba di penginapan Kariganeya, kepala pegawai penginapanlah yang pertama kali berbicara kepada mereka, tapi sang pemilik penginapan yang bernama Gonzo, segera mengambil alih. Gonzo membaca surat yang ditujukan untuk Tsuge Hachirozaemon dan mengamati keluarga tersebut selama beberapa menit sebelum mengizinkan mereka tinggal dipenginapan itu.
Sepuluh hari telah berlalu, dan Gonzo meminta bayaran untuk periode itu, tetapi ketika dia mengetahui bahwa keluarga tersebut tidak memilik uang, sikapnya berubah dengan sangat drastis. Mereka dipindahkan ke gudang, dan mereka tidak lagi menerima makanan atau minyak untuk lampu. Sangat jelas bahwa Gonzo berusaha untuk memaksa keluarga itu meninggalkan penginapannya, tetapi setelah membicarakannya, disepakati bahwa Tanjuro hanya akan membayar makanan mereka secara tunai. Begitulah cara mereka bertahan sampai hari ini. Tanjuro telah menjelaskan bahwa Tsuge sedang membantunya untuk mencari pekerjaan, tetapi Gonzo tetap mempercayainya.
"Dia bilang jika kita tidak bisa membayar, aku harus menjual tubuhku dan menjadi seorang pelacur. Dia sungguh tidak sopan."
Tanjuro meletakkan sumpitnya dan duduk dengan ekspresi pusing, lalu mukanya memerah.
"Sungguh beraninya dia" Tanjuro bangkit dan berjalan ke kamar kecil, mengeluarkan pedangnya dan menusukannya di ikat pinggangnya.
"Kemana kamu akan pergi?" Tami bertanya, bangun dan menghalanginya di pintu.
“Aku akan membunuh dia. Aku tidak tahan mendengarnya,"
"Tenang! Apa untungnya kalau kamu membunuhnya? Apa akan terjadi kepada anak-anak dan aku? Apakah itu alasanya mengapa kita datang ke tempat ini?"
Tanjuro menatapnya, lalu menaruh pedangnya kembali dan duduk.
"Aku sudah kenyang" Dia berkata dan berbaring di belakang kesetan yang digunakan Tami. "Besok aku akan pergi menjual pedangku," dia memberitahukan. Saat Tami kembali setelah menyimpan piring yang tadi digunakannya untuk makan, dia masih berbaring dan menatap langit-langit.
Tami mulai mengatakan sesuatu, tetapi dia memikirkan hal yang akan dikatakannya baik-baik dan menghela nafas.
"Oh, aku hampir lupa," dia berseru. "Tora mentraktir saya hari ini, Bangun dan cobalah.”.
Tidak semua orang di penginapan ini memperlakukan mereka seperti paria. Salah seorang pelayan wanita yang berusia kira-kira empat puluh tahun bernama Tora, seringkali memberi mereka makanan. Mendengar bahwa itu adalah makanan, Tanjuro duduk dan memperhatikan ketika tami meletakan sepuluh semacam kenari di depannya.
"Dapatkah kamu membukakannya untuk saya?”
”Tentu saja.”
Tanjuro bangkit, mengambil lagi pedangnya, memisahkan sebuah pisau kecil dari sarung pelindungnya, dan menggunakannya untuk membuka kacang-kacangan tersebut. Tami membersihkan penjepit rambutnya dan menggunakannya untuk mengeluarkan biji kacang. Bau yang enak tercium di kamar tersebut.
Keduanya dengan serius memakan kenari itu sampai habis. Sementara Tami mengambil kulit-kulit tersebut, tanjuro berbaring kembali hingga Tami mematikan lampu. Sesaat setelah cahaya lampu padam, cahaya perak bulan menyinari kamar itu melalui jendela, serta angin malam yang berhembus sepoi-sepoi. Tami beraring di sebelah suaminya.
“Bulan itu begitu indah.”
“Hmm.”
"Sudah dua tahun berlalu, saat kita melihat bulan seperti ini, di Utsunomiyah, apakah kamu ingat?"
“Mmm”
“Sudahlah,” kata Tami, “Kita harus segera tidur.”
Tidak ada lagi suara yang terdengar kecuali suara hembusan nafas.
"Jangan salhkan saya jika kita punya anak lagi," Tami memperingatkan suaminya, tetapi nafas Tanjuro mulai terdengar megap-megap. Sinar bulan terus menyinari kamar itu, dan seekor jengkerik bisa terdengar dari dalam kegelapan kebun di bawah.
Akhirnya mereka berhenti bergerak, hanya Tanjuro tetap berbaring di atas Tami. Nafasnya berubah menjasi pelan, dan mulai mendengkur dengan lemah-lembut.
Tami memeluknya, "kasihan," katanya. "Kehidupan begitu keras buat mu.”
Pengantar pesan dari Tsuge yang sudah sangat lama dinantikan akhirnya datang juga pada sore, di hari pertama di bulan Oktober. Tanjuro segera kembali ke benteng bersamanya untuk menemui Tsuge.
"Kabar baik," kata Tsuge. "Ada seorang laki-laki telah dijatuhi hukuman mati, tetapi daimyo kita sangat percaya kepada semangat pertempuran dan menawarkan kesempatan kepadanya untuk menebus dirinya dengan cara memenangkan pertempuran. Ketika pimpinan dewan mendiskusikannya denganku, saya merekomendasikan kamu untuk ikut dalam pertarungan tersebut.
Tanjuro tetap diam.
"Itu adalah peluang sangat baik," kata Tsuge memotivasi Tanjuro, "jika kamu berhasil, kamu akan mendapatkan pekerjaan."
Tanjuro merasakan tubuhnya bertambah tegang.
"Siapa laki-laki itu?"
“Seseorang yang bernama Yogo Zenomen. Saya pikir tidak begitu sulit untuk mengalahkannya.”
Semuanya belum lama terjadi saat laki-laki itu diterima bekerja dan dia dikenal dengan keahliannya dalam bidang kaligrapi, sehingga dia ditugaskan di bagia sekretaris. Tetapi dia adalah tipe orang yang suka melawan, dia sering berdebat dengan teman kerjanya. Dalam konprontasi yang baru-baru terjadi, dia bersama atasannya menbuat fitnah tentang daimyo, yang dianggap sebagai sebuah bentuk penghianatan, sehingga dia di jatuhi hukuman mati.
“Apa ada ynag salah? Kamu kelihatan tidak bersemangat. Apakah kamu akan menolaknya?”
“Tidak, saya akan melakukannya.”
Tanjuro merasa khawatir, orang seperti apakah Yogo itu. Mendengar bahwa dia adalah orang baru, Tanjuro merasa enggan untuk melakukannya, dan dia khawatir jika laki-laki itu suka melawan karena pengaruh dari kehidupannya yang keras sebagai seorang ronin. Jika benar demikian, itu berarti dia harus membunuh seseorang yang memiliki nasib sama dengannya, yang dia anggap sebagai sahabat. Dia khawatir jikalau laki-laki itu juga memiliki seorang istri dan keluarga.
“Yogo dibayar sebesar 350 gantang beras tiap tahun. Jika kamu berhasil, saya jamin kamu tidak akan mendapatkan gaji kurang dari itu.”
“Tiga ratus lima puluh!” mata Tanjuro Nampak bercahaya, dan rasa simpatynya kepada laki-laki –tu mulai surut seperti air yang pasang-surut. “Saya jamin saya akan berhasil.”
“Hati-hati!” Tsuge memperingatkan Tanjuro saat dia akan pergi. “Dia sudah tahu tentang kedatanganmu dan jika jika dia berhasil mengalahkanmu, dia akan diampuni. Yogo akan berjuang mati-matian, jadi berhati-hatilah.”
Tanjuro melewati jalan yang gelap dengan tergesah-gesah, jalan itu menuju rumah Yogo. Dia pergi bersama pelayan Tsuge. Mereka daerah perdagangan yang terang, sebelum sampai di tempat tinggal samurai itu. Suasana rumahnya sangat tenang dibawah bulan purnama.
"Ini rumahnya." Pelayan itu adalah seorang anak muda yang berumur sekitar dua puluh tahun, dan saat berbicara suaranya kedengaran gemetar dan ketakutan.
" Baiklah. Kamu boleh kembali sekarang."
Tanjuro berdiri dan mengamati anak muda itu pergi dengan tergesa-gesa. Lalu dia memindahkan tali yang berkait dengan sarung pedang dan menggunaankannya untuk mengikat lengan baju kimononya, sehingga tali itu tidak akan menghalangi gerakannya. Dia mengingat kembali pengalamannya menghadapi panah, tombak, dan pedang saat berada dalam pertempuran. Kenangan itu tidak menyenangkan, tetapi dia berusaha untuk menghilangkan ketakutannya dan menguatkan dirinya.
Jalan setapak menuju rumah itu berada di antara dua pagar, dan ketika Tanjuto mendorong pintu gerbang, ternyata pintunya terbuka dengan sangat mudah. Kemudian dia memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang sedang bersembunyi disana, dia berjalan menuju halaman rumah itu.
Pintu depan rumah itu sudah terbuka, dan seorang laki-laki sedang duduk di tangga di depan lantai yang agak tinggi yang terdapat di aula masuk. Sebuah lilin menyala dibelakang laki-laki itu dan menyorot wajah nya.
"Jadi, kamu datang untuk melawan saya?" lelaki itu bertanya dengan sederhana dan tiba-tiba mengangkat kakinya. Tanjuro mengamatinya dengan hati-hati.
" Memang sebaiknya kamu datang,” lanjut laki-laki itu.
Kemudian laki-laki itu melangkah ke aula dan Nampak akan memasuki ruangan yang ada disebelah ruangan dimana mereka berada, dia mencabut lilin tadi agar Tanjuro bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ketika Tanjuro mendengar bahwa Yogo adalah seorang sekretaris, Tanjuro membayangkan bahwa lelaki itu adalah seorang yang berberperawakan kecil, tapi kenyataannya dia adalah lelaki yang berperawakan besar dengan wajah yang bulat dan berusia kira-kira tiga puluh tahun.
“Apakah kamu adalah Yogo Zenemon?” Tanya Tanjuro untuk memastikan bahwa orang itu benar-benar Yogo.
“Ya benar,” jawab laki-laki itu dengan hati-hati. “Saya harap kamu tidak kecewa, tapi saya bermaksud untuk melarikan diri.”
“Melarikan diri?”
“Ya, kamu akan membiarkan saya pergi bukan?”
“Mengapa kamu akan melarikan diri? Ini adalah pertarungan ujian. Jika kamu menang kamu bisa mempertahankan jabatanmu.”
“Saya tahu. Tapi saya tidak pandai dalam bertarung, saya tidak yakin akan menang.” Kata Yogo sambil tersenyum tidak ramah. “Sejujurnya, saya sudah cukup lama menjadi seorang samurai. Saya ingin kembali ke kampong halaman saya dan menjadi seorang petani.”
“Dari mana kamu berasal?”
“Murakami di daerah Echigo. Keluarga kami dulunya adalah tuan tanah. Tapi setelah kehancuran suku kami, dua atau tiga diantara mereka menjadi petani.”
Pada tahun 1618 para samurai Murakami memberontak melawan daimyo mereka, dan saat berita itu sampai ke pemerintah pusat di Edo, suku itu terpecah dan pengasilannya sebesar 450.000 gantang beras disita. Rupanya itulah alasan mengapa Yugo meninggalkan daerahnya sejak saat itu.
“Apakah kamu menjadi seorang ronin terusnya setelah itu?”
"Tidak," Yogo menjawab tidak jelas. “Saya pernah beberapa kali mendapatkan pekerjaan, tapi tidak ada yang bertahan lama. Saya harap kali ini saya bisa bertahan lebih lama, tapi lihat apa yang terjadi. Saya tidak ingin menjadi seorang samurai lebih lama lagi.” Yogo duduk dan meregangkan kaki-kaki nya kedepan seolah-olah menunjukkan bahwa mereka bukan musuh.
"Jadi kamu bermaksud untuk melarikan diri?"
Ketika dia mendengarkan laki-laki itu berbicara, kewaspadaannnya mulai berkurang dan mengamati kalau ternyata laki-laki itu menggunakan paakaian yang biasa digunakan saat melakukan perjalanan. dia menyadari bahwa dia tidak bisa membunuh lelaki itu. Dia hanya harus mengatakan kepada Tsuge bahwa Yogo sudah melarikan diri saat dia tiba di rumanhya. Di khawatir apakah hal ini akan mempebgaruhi kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan, walaupun sebenarnya dia tetap ingin mengambil alih jabatan Yogo. Dia bisa membaca dan menulis, walaupun tidak terlalu ahli dalam bidang kaligrapi.
“Bolehkah saya duduk?” Tanya Tanjuro
“Silahkan.”
“Kamu sangat beruntung,” kata Tanjuro sambil duduk di pinggir lantai di aula pintu masuk. “Jika saja saya memiliki tanah, saya tidak akan pernah datang kesini.”
“Apa kamu sudah lama menjadi seorang ronin?”
Sekarang giliran Tanjuro untuk bercerita, dan dia menceritakan saat-saat dia mencari pekerjaan. Yogo adalah pendengar yang baik, kadang-kadang memberi komentar. Tanjuro akhirnya kehilangan kewaspadaannya.
“Bahkan pada akhirnya saya harus menjual pedang saya untuk membayar biaya penginapan.” Tanjuro mengakui semuanya. “Ngomong-ngomong, apa kamu sudah menikah?”
“Belum.”
“Yah, itu lebih baik. Sangat sulit untuk mengidupi keluargamu jika kamu tidak memiliki pekerjaan. Lihatlah pedang yang saya punya sekarang hanyalah pedang bambu!” Saat itu Tanjuro melepaskan sarung pedangnya. Karena merasa kasihan atas keadaan Tanjuro yang begitu buruk, Yogo tiba-tiba diam. Tanjuro mersa curiga dan melihat sesuatu yang aneh di mata Yogo saat menatap pedang bambu Tanjuro.
“Baiklah, semuanya berubah!" seru Yogo, sambil melompat dan meletakkan tangannya di pangkal pedangnya.
"Hentikan! Jangan bodoh!"
Tanjuro langsung berdiri saat Yogomengarahkan pedangnya ke kepala Tanjuro. Dengan cepat Tanjuro mengambil pedeng pendeknya dan membelokan pedang Yogo. Dia menyerempet kelingkingnya, tetapi dia ragu apakah akan berhasil. Menjaga pedang pendeknya tetap dalam keadaan yang tidak terlalu tinggi, Tanjuro mengikuti Yogo akhirnya kembali masuk ke dalam rumah. Butiran keringat Yogo mengalir di wajahnya, dan nampaknya dia berusaha keras untuk bertahan. Tanjuro belum sempat mengatakan bahwa dia adalah seorang ahli dalam pertempuran yang menggunakan pedang pendek di Toda School. Dia membuat gerakan tipuan kesebah kiri, saat Yogo menghindar untuk membela diri, dia langsung menusukan pedangnya ke badan Yogo.
Tanjuro memperhatikan badan Yogo sebelum dia membungkus kembali pedangnya. Seorang samurai yang bernasib malang.
Raja dari suku tempat Tanjuro pertama kali mengabdi adalah salah seorang penasehat yang dekat dengan shogun, tapi dia tidak menghentikan pemerintah saat membubarkan sukunya dan menyita kekayaannya sesaat setelah kematiannya. Kemudian pada pekerjaan Tanjuro yang selanjutnya, majikannya berusaha untuk mendapatkan kemuliaan untuk sukunya, tapi semuanya diakhiri dengan ritual bunuh diri, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi dengan pengikut-pengikutnya.
Kehidupan samurai tergantung pada upah yang mereka terima berupa beras yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dan kebaikan majikan mereka. Yogo tahan mengadapi semua itu, dan Tanjuro percaya bahwa dia bermaksud untuk melarikan diri, walaupun dia tidak rela untuk melepaskan pendapatan tetap yang dia peroleh dari pekerjaannya. Walaupu keputusan yang dia ambil adalah akibat dari kesalah pahaman, dia lebih memilih untuk bertarung, dari pada kehilangan 350 gantang beras.
Tanjuro berjalan melewati gerbang taman, dan bertemu dengan seorang samurai yang membawa dua helai papan yang sudah diikat dengan ban besi, yang menunggu di jalan yang disinari cahaya bulan purnama. Tentu saja Tsuge sudah mengirimkannya untuk menyaksikan hasil pertarungan.
“Apaka kamu Oguro Tanjuro?”
Tanjuro mengangguk dan menunjuk ke arah rumah dimanaYogo tergeletak. Setelah memperhatikan mereka masuk kerumah tersebut, dia melepaskan tali yang terikat di lengannya.
Setidaknya kita tidak perlu mencemaskan apa yang akan dimakan besok, pikirnya. Dia membayangkan Tami dan anak-anak, dan kenangan masa lalu saat mereka berada di jalanan, terhempas angin dan hujan akan segera berakhir.

translated from japanese short story with original title "Bamboo Sword"

frienship forever

Rabu, 03 Februari 2010

What is it?

I can see something in your eyes
When you gaze me
I can feel something in your heart
When you smile to me
But you never tell me
What it is

Now you gone
Before tell me
What it is
In my aloneness
I sing your memory song
But it can’t tell me
What it is

I know you will back
I’m here waiting for you
Waiting you to tell me
What it is

Poetry

where is my heart?

I know it will never back
All had gone
Nothing can bring it back
Back to my heart

You blank my heart
Nothing fills it again
Since you take force all
I hope you know it

Please alive me again
Return my soul
My heart that you stolen